Materi Fikih Kelas XII Kaidah Ushuliyah

 KAIDAH USHULIYYAH



1. Pengertian Kaidah Ushuliyyah
       Qa’idah Ushuliyyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, yang artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Dan ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Sedangkan bentuk jamak dari qa’idah adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, yang artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, Qa’idah Ushuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, yang bertitik tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode dalam penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah. (1) Sedangkan menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir (dalam Amin Darmah :2011) mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
        Penulis mengambil kesimpulan bahwa kaidah ushulliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut dan kaidah ushulliyah ini juga merupakan kaidah yang berhubungan dengan masalah kebahasaan, yang didalamnya tidak berbicara sama sekali tentang fiqih karena didalamnya hanya berhubungan dengan masalah kebahasan saja, yang telah disepakati oleh semua ulama’ madzhab dan dijadikan pijakan ulama’ tentang hukum.
        Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:
Kaidah :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).
Kaidah :
إذا اجتمعت المقتضى والمنافع قدمت المنافع
Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”(3)
2. Jenis- jenis Qawaid Ushulliyyah
       Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut: (1)
1. Amr dan Nahi
Ø Pengertian Amr
     Menurut jumhur ulama ushul, definisi amr adalah lafadz yang menunjukkan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjaan suatu pekerjaan. Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah, من الأعلى إلى الأدنى" الأمر طلب الفعل”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.” atau dapat didefinisikan, اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الاستعلاء Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Ø Kaidah dalam ’Amr.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama,
الأصل قى الأمر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah QS. An-Nisa (4) : 77
”Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!…”

Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat.
Adapun contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib, QS. Al-Baqarah (2) : 283
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.


b. Nahi
Ø Pengertian Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai:
الاستعلاء بالسيغة الدال عليطلب الكف عن الفعل على الجهة
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti. Menurut ulama ushul, definisi nahi adalah kebalikan amr, yakni lafad yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti di kerjakan) dari atasan kepada bawahan. Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
Ø Kaidah yang berhubungan dengan Nahi
        Kaidah, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Contohnya ayat 151 surat al-An’am. “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar“
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam Surat Al-Jum’ah (62) : 9. “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
2. Aam dan Khas
Ø Pengertian Aam
       ‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah " Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu. Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
       Menurut istilah ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.Seperti lafadz “arrijal” maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Disamping pengertian ‘am diatas ada beberapa pengertian ‘am menurut ulama’ lainnya antara lain:
a) Hanafiah yaitu “Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna”.
b) Al-Ghazali yaitu “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih”
c) Al-Bazdawi yaitu “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata”
d) Menurut Uddah ( dari kalangan ulama' Hanbali )" suatu lafadz yang mengumumi dua hal atau lebih".
Kaidah yang menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi semua yang khusus, misalnya kaidah :
العمعوم من عوارض الألفاظ
Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ
Artinya: “Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”

ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ
Artinya: “Al-‘Am itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat sebagian.”

Ø Pengertian Khas
       Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah:“Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”
       Dalam pengertian lain khas adalah lafaz yang khash itu lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu individu yang satu perseorangannya, seperti seorang laki-laki, atau menunjuk kepada sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan seluruh individu-individu. Atau khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.
Ø Kaidah yang berkaitan dengan khas atau khusus, misalnya :
ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ
Artinya: “Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ
Artinya: “Sifat itu bagian dari pengkhususan.”(2)
3. Kaidah yang berkaitan dengan manthuq (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual). Misalnya kaidah :
ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ
Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”
Menurut beliau menambahkan, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Yaitu kaidah al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu kaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud dengan kaidah, secara jelas telah penulis bahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.
       Dr. Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang berarti membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan demikian, kata tasyri’ berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
      Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan nama Qawa’idut-   Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.
      Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’. Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu.(2)
3. Perbedaan Qawaid Ushulliyyah dan Qawaid Fiqhiyyah:
Perbedaan diantara keduanya menurut Ahmad Rajafi Sahran, (2011) adalah sebagi berikut:
1. Kaidah Ushuliyah.
       Kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya yang terinci. Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab, setelah diadak an penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.
Kaidah-kaidah ushuliyah digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyah dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin,.
2. Kaidah Fiqhiyah
     Kaidah fiqhiyah adalah kaidah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dari dalil-dalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah beban dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-hikmahnya. Rahasia tasyri’ adalah ilmu yang menerangkan bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf, kemaslahatan hamba, dan menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
      Kaidah-kaidah fiqhiyah dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syaria’t dalam ucapan dan perbuatanya. Karena aturan-aturan syara’ itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbua tan dan ucapan manusia. Selain itu juga kaidah fiqhiyah digunakan untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan ataupun yang diharamkan baginya.
      Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk yang operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia¬rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan, dalam menetapkan hukun Islam .
4. Fungsi Kaidah Ushulliyyah
      Fungsi utama dari kaidah Ushulliyah menurut Amin Darmah adalah untuk mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam yang terpapar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan menerimanya sebagai ketentuan syara’ baik secara yakin maupun dzan.
      Para ulama menempuh langkah-langkah kreatif menurut norma-norma hukum itu yang terpapar secara acak dalm al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk kalam-kalam yang tertulis, dan mereka tidak berjumpa langsung dengan rasulullah sebagai orang yang menyampaikan kalam tersebut dan mampu menjelaskannya dengan baik. Dengan demikian, kaidah ushulliyyah ini hanya merupakan metodelogi kajian hukum dari nash-nash al-Quran dan al-Sunnah yang berfungsi mengangkat ketentuan-ketentuan hukum islam, untuk kemudian menjadi pedoman bagi orang-orang mukallaf dalam menjalani kehidupan ini.


Kesimpulan
       Kaidah Ushuliyyah merupakan gabungan dari kata kaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, yang artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, Ka’idah Ushuliyyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
      Beberapa Jenis-jenis ka’idah Ushuliyyah diantaranya amr dan nahi, aam dan khas, (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual) masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda namun pada hakikatnya sama yaitu guna menggali sebuah hukum, yang berfungsi sebagai alat menggali sebuah hukum syara’.



DAFTAR PUSTAKA

1. Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009,
2. Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.
3. Hakim, Abdul Hamid. 1928. مبادى أولية في أصول الفقة. Jakarta: Sa’adiyah putra
4. http://kozam.wordpress.com/2009/II/10/kaidah-kaidah-ushul-fiqh
5. Fadal, Muh kurdi. 2008. Kaidah-kaidah fikih. Jakarta Barat: Artha Rivera
6. http://mbahduan.blogspot.com/2012/03/ kaidah-ushuliyah.html
7. http://Amindarnah.blogspot.com/2011/05/kaidah kaidah al ushulliyyah.html
8. http://Ahmad Rajafi Sahran.blogspot.com /2011/02/qawaidalushulliyah dan alfiqhiyah.html

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Materi Fikih kelas XI : Bab Warisan