KALAM ATAU KALIMAT DAN PEMBAGIANNYA

  

Pengertian Kalam

Kalam adalah : Suatu lafaz yang tersusun yang memiliki faedah serta di sengaja dalam pengucapannya. Untuk penjelasan lengkapnya bisa Anda simak di bawah ini:

Keterangan :

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kalam memiliki beberapa ketentuan:

Pertama, kalam harus berupa lafaz.

Lafaz adalah suara yang mengandung salah satu huruf Hijaiah. Contoh : عمر (Mengandung Huruf Hijaiah  ر ، م، ع )

Jadi syarat pertama sesuatu bisa di katakan kalam adalah harus berupa huruf Hijaiah. Ketika kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia, Inggris atau yang lainnya itu bukanlah disebut Kalam karena Kalam hanya berlaku dalam bahasa Arab.

Contoh, Zaid berkata, "Amir telah memukul Umar".

Apabila Zaid mengucapkannya menggunakan bahasa arab, maka ucapan tersebut termasuk lafaz. Sedangkan apabila Zaid dalam pengucapannya menggunakan bahasa Indonesia, maka hal tersebut tidak dinamakan lafaz.

Ingat! Tidak semua suara bisa dikatakan kalam. Berhubung kalam disyaratkan harus berupa lafaz atau suara yang mengandung bahasa arab, maka segala bunyi atau suara yang tidak mengandung huruf Hijaiah tidak bisa dikatakan kalam. Contoh: Suara burung, suara alarm, suara kucing, dan lain sebagainya.

Jangan bingung yah, logikanya sangat mudah kok.

Intinya begini, kalam harus berupa lafaz, sedangkan lafaz harus berupa suara yang mengandung huruf hijaiah (bahasa arab). Sudah itu saja!

Jadi, selain bahasa arab, maka secara otomatis ia tidak dinamakan kalam.

Kedua, kalam harus Murakab/Tersusun (مُرَكَبْ)

Yang dimaksud murakab di sini adalah kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih. Atau susunan dua kata atau lebih.

Suatu kalimat bisa dikatakan kalam apabila memiliki susunan yang jelas dan tertuju,  jika ada pekerjaan pasti ada yang mengerjakan, jika ada yang di pukul pasti ada juga pelaku yang memukul.

Hal ini sejalan dengan aturan SPO (Subjek + Predikat + Objek) dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang menjadi pembeda adalah kalau bahasa arab susunannya adalah PSO atau Predikat + Subjek + Objek.

Yuk, kita bahas pelan-pelan:

Di dalam bahasa Indonesia, kalimat "Zaid sedang menolong Umar" adalah susunan yang benar. Sebab, syarat-syarat SPO-nya terpenuhi. "Zaid" posisinya adalah sebagai Subjek (pelaku), "sedang menolong" posisinya menjadi Predikat (kata kerja), sedangkan "Umar" posisinya adalah Objek (sasaran).

Nah, sekarang kita beralih ke contoh murakab:

ضرب زيد عمرا adalah contoh murakab atau susunan kalimat yang benar dalam bahasa arab. Adapun artinya adalah Zaid sudah memukul Umar.

Berhubung format kalimat bahasa arab diawali dari kanan, maka kita juga harus mengurutkannya dari kanan. Artinya, ضرب di tempat pertama, زيد di tempat kedua, sedangkan عمرا di tempat ketiga.

Perhatikan, susunan tersebut bisa disimpulkan bahwa murakab memilik susunan PSO (Predikat + Subjek + Objek), bukan SPO ((Subjek + Predikat + Objek) sebagaimana yang berlaku di Indonesia. ضرب di posisi pertama menjadi Predikat, زيد di posisi kedua menjadi Subjek, sedangkan عمرا di posisi ketiga menjadi Objek.

Itulah penjelasan lengkap mengenai murakab. Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana contoh susunan yang tidak murakab?

Jawabannya simpel saja, susunan yang tidak murakab adalah susunan yang tidak memiliki susunan PSO (Predikat + Subjek + Objek). Misal, Zaid menolongZaid Bertanya. Pasti akan timbul pertanyaan, Zaid menolong siapaZaid bertanya apa? dll.

Ketiga, kalam harus berfaedah atau memahamkan (مُفِيْدْ)

Mufid (مُفِيْدْ) adalah memberi pemahaman, berfaedah, atau dapat memberikan informasi yang sekiranya orang yang diajak bicara tidak bertanya-tanya lagi.

Nah itu kuncinya. Kalau seseorang sudah tidak bertanya lagi dengan apa yang kita sampaikan. Maka ucapan tersebut sudah masuk kriteria berfaedah (memahamkan)

Contoh:

يَذْهَبُ اَمِرٌ فِى المَدْرَسَةِ (Amir sedang pergi  ke madrasah) = Sudah Mufid Karena sudah jelas.

يَذْهَبُ اَمِرٌ  (Amir sedang pergi) = Belum Mufid karena masih menimbulkan pertanyaan (pergi ke mana?).

Keempat, kalam harus ada unsur disengaja dalam pengucapannya (الوضع)

Syarat yang terakhir dari kalam adalah adanya unsur "disengaja" dalam pengucapannya. Artinya, apabila ucapannya bersumber dari orang yang tidak sadar, mabuk, tidak berakal, ayan, mengigau, atau sejenisnya, maka ucapan tersebut tidak bisa dinamakan kalam.

Jadi, apabila seseorang yang mabuk, ayan, mengigau, atau gila mengucapkan sebuah kalimat yang sudah memenuhi syarat Lafaz, Murakab dan Mufid, maka mutlak ucapan tersebut tidak dinamakan kalam. Sebab, ucapannya dilontarkan dalam keadaan tidak disengaja.

Kalam atau kalimat yang merupakan struktur dasar dari bahasa Arab, sekarang kita akan mengulas lebih jauh tentang pembagian Kalam yang jumlahnya ada 3, yaitu: Isim, Fi’il, dan Huruf.

واقسمه ثلثة اسم وفعل وحرف جاء لمعنى

Perlu diketahui bahwa pembagian kata pada bahasa Arab sedikit berbeda dengan pembagian kata pada bahasa Inggris. Jika dalam bahasa Inggris pembagiannya adalah noun (kata benda), verb (kata kerja), adjective (kata sifat), dan beberapa jenis kata yang total jumlahnya ada 9 itu, maka pada bahasa Arab pembagiannya secara garis besar hanya ada 3 (meskipun nantinya setiap kategori ini memiliki anak kategorinya masing-masing), yaitu: isim (kata benda), fi’il (kata kerja), dan huruf (kata hubung). Adjective dalam sistem tata bahasa Arab ikut dikategorikan ke dalam Isim.

Untuk diketahui, dari ketiga jenis kata ini kesemuanya memiliki ciri masing-masing agar dapat dibedakan. Berikut ciri-ciri isimfi’il, dan huruf:

  1. Isim (noun/kata benda)
فالاسم يعرف بالخفض ولتنوين ودخول الالف واللام وحروف الخفض

Isim secara garis besar bisa diartikan sebagai kata benda (kata sifat juga termasuk ke dalam isim), namun dalam pengertian yang lain isim diartikan sebagai kata yang pada dirinya sendiri mengandung arti tetapi tidak disandarkan pada waktu.

Contoh: زيد ـ انا ـ هذا

Tanda-tanda untuk dapat mengetahui apakah kata tersebut termasuk isim atau bukan ada 4 tanda, yaitu:

  • Bisa di-jer-kan

Suatu kata bisa dibaca jer karena beberapa sebab, yang paling banyak biasanya karena kemasukan huruf jer atau karena idlofah (gabungan kata).

Contoh:

  1. مَرَرْتُ بِزَيدٍ (Saya berpapasan dengan Zaid)
  2. بَيْتُ زَيدٍ (Rumahnya Zaid)

Pada kedua contoh diatas, kata Zaid merupakan isim. Contoh (a.) merupakan contoh kata yang dibaja jer karena kemasukan huruf jer yaitu بِ. Jadi kata Zaid termasuk isim karena bisa dijerkan. Sedangkan contoh (b.) merupakan contoh kata yang dibaca jer karena idlofah. Kata Zaid dibaca jer karena berkedudukan sebagai mudlof ilaih. Jadi kata Zaid termasuk kategori isim.

  • Adanya tanwin

Jika suatu kata mengandung tanwin, maka sudah bisa dipastikan kata tersebut merupakan isim.

Contoh: زَيدٌ ـ رَجُلٌ

  • Kemasukan alif dan lam (baca: al)

Sama seperti tanwin, jika suatu kata mengandung al maka sudah dapat dipastikan kata tersebut merupakan isim.

Contoh: اَلرَّجُلُ (seorang laki-laki)

Perlu diketahui bahwa al dan tanwin merupakan penanda isim yang sifatnya saling menegasikan. Jadi jika sudah ada al maka tidak boleh ada tanwin, dan sebaliknya, jika sudah ada tanwin maka tidak boleh ada al.

  • Kemasukan huruf jer

Contoh: مَرَرْتُ بِزَيْدٍ (saya berpapasan dengan Zaid)

Kata Zaid diatas merupakan isim karena kemasukan huruf jer بِ.

Dalam kitab Jurumiyah ini huruf jer disebutkan ada 12, yaitu:

وهى من والى وعن وعلى وفي ورب والباء والكاف واللام وحروف القسم وهى الواو والباء والتاء

Huruf jer sebenarnya jumlahnya banyak, tidak hanya berjumlah 12 seperti yang disebutkan diatas. Dalam referensi lain misalnya pada nadlom Alfiyah yang diadopsi juga ke dalam metode Amtsilati, menyebutkan bahwa huruf jer ada 20:

هَاكَ حُرُوفَ الْجَرِّ وَهْيَ مِنْ إلىَ # حَتَّى خَلا حَاشَا عَدَا في عَنْ عَلَى

مُذْ مُنْذُ رُبَّ اللّامُ كَيْ وَاوٌ وَتَا # وَالكَافُ وَالْبَا وَلَعَلَّ وَمَتَى

Huruf jer iku rupane min lan ila  # hatta khola hasya ‘ada fi ‘an ‘ala

Mudz mundzu rubba lam lan kay wawu lan ta’ # ugo kaf lan ba’ lan la’alla lan mata

  1. Fi’il (verb/kata kerja)
والفعل يعرف بقد والسين والتاء التأنيث الساكنة

Fi’il dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai kata kerja, namun dalam pengertian yang lain fi’il diartikan sebagai kata yang pada dirinya sendiri mengandung arti dan padanya disandarkan pada waktu: lampau (past), kini (present), dan yang akan datang (future).

Contoh:   ضرب ـ يضرب ـ إضرب

Tanda-tanda untuk dapat mengetahui apakah kata tersebut termasuk fi’il atau bukan ada 3 tanda, yaitu:

  • Bisa kemasukan qod (sungguh)

Qod ini bisa masuk ke dalam fi’il madli maupun fi’il mudlori’.

Contoh:قد قام   (sungguh telah berdiri)قد يقوم (kadang-kadang​ berdiri)

  • Bisa kemasukan sin tanfis (hendak/akan)

Sin tanfis hanya bisa masuk ke dalam fi’il mudlori’.

Contoh: سيقوم

  • Bisa kemasukan saufa taswif (hendak/akan)

Saufa taswif hanya bisa masuk ke dalam fi’il mudlori.

Contoh: سوف يقوم

Antara sin tanfis dan saufa taswif sebenarnya maknanya sama yaitu hendak/akan. Perbedaannya adalah pada kadar waktunya dimana pada sin tanfis zaman mustaqbalnya (akannya) lebih sedikit daripada zaman mustaqbalnya (akannya) saufa, karena banyaknya huruf menunjukkan banyaknya makna. Mudahnya, sin tanfis menunjukkan bahwa kejadiannya sudah hampir terjadi, sedangkan saufa kejadiannya masih lama.

  • Bisa kemasukan ta’ ta’nits (ta’ yang menunjukkan makna mu’annats)

Ta’ ta’nits hanya bisa masuk ke dalam fi’il madli.

Contoh: قامت (telah berdiri -seorang perempuan-)

  1. Huruf (conjunction/kata hubung)
والحرف ما لا يصلح معه دليل الاسم ولا دليل الفعل

Huruf dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai kata hubung, namun dalam pengertian yang lain huruf diartikan sebagai kata yang mengandung arti (dapat dipahami maknanya) jika digabung dengan kata lain. Dengan demikian, kata ini tidak akan memiliki makna tertentu, kecuali disandarkan pada kata-kata lain.

Contoh: الى  ـ لم

Jika untuk mengetahui isim dan fi’il terdapat tanda-tanda yang menyertainya, maka untuk mengetahui huruf adalah sebaliknya, yaitu dengan tidak adanya tanda-tanda isim dan fi’il. Dengan kata lain, jika suatu kata bukan merupakan isim maupun fi’il, maka sudah dapat dipastikan kata tersebut merupakan huruf.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Fikih kelas XI : Bab Warisan

Materi Fikih Kelas XII Kaidah Ushuliyah